Posted by Aris Fourtofour on Kamis, 13 Juni 2013
Sejarah Singkat Lahirnya PETA (Pembela Tanah Air)-
PETA dibentuk tanggal 3 Oktober 1943, atas usul Gatot Mangkupraja.
Tentara PETA bertugas menjaga daerahnya masing-masing. Di dalam PETA terdapat
lima jenis komandan, yaitu komandan batalion (daidanco), komandan kompi
(cudanco), komandan peleton (shodanco), komandan regu (bundanco), dan
komandan prajurit sukarela (giyuhey). Namun, kekejaman tentara Jepang
terhadap rakyat Indonesia membuat tentara PETA memberontak. Akhirnya,
badan-badan kemiliteran yang dibentuk Jepang dimanfaatkan untuk melawan
Jepang. Latihan militer yang diberikan sangat besar manfaatnya bagi
bangsa Indonesia.
Pasukan PETA telah berperan besar dalam perang memperebutkan kemerdekaan
Indonesia. Beberapa tokoh yang dulunya tergabung dalam PETA yaitu
Soeharto dan Jendral Soedirman. Veteran-veteran tentara PETA telah
menentukan perkembangan dan evolusi militer Indonesia, antara lain
setelah menjadi bagian penting dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat
(BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat,
Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga akhirnya TNI. Oleh karena hal
tersebut orang-orang banyak menganggap PETA merupakan cikal bakal
lahirnya TNI.
Latar Belakang
Adanya PETA (Pembela Tanah Air) dianggap bermula dari surat yang
dilayangkan Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseikan (kepala
pemerintahan militer Jepang) pada tanggal 7 September 1943 antara lain
berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu
pemerintahan Jepang di medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota
Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam
barisan PETA. Ada pendapat bahwa hal ini merupakan strategi Jepang
untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul
pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri.
Pendapat ini ada benarnya, karena, sebagaimana berita yang dimuat pada
koran “Asia Raya” pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya usulan
sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah
(HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H.
Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Mohammad Sadri, yang menuntut
agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan
mempertahankan Pulau Jawa. Hal ini menunjukkan adanya peran golongan
agama dalam rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh
golongan agama ini dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta
tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga
diperlihatkan dalam panji atau bendera tentara PETA yang berupa matahari
terbit (lambang kekaisaran Jepang) dan lambang bulan sabit dan bintang
(simbol kepercayaan Islam).
Pendirian PETA didasarkan pada maklumat Osamu Seirei Nomor 44 yang
diumumkan oleh Panglima Tentara ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada.
Osamu Seirei No 44, 3 Oktober 1943 berisikan mengenai Pembentukan Pasukan Sukarela untuk membela Pulau Jawa dengan status :
- Kesatu, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), terdiri dari warga negara yang asli
- Kedua, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), dilatih oleh tentara Jepang
- Ketiga, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), bukan milik organisasi manapun, langsung dibawah Panglima Tentara Jepang
- Keempat, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), sebagai tentara teritorial yang berkewajiban mempertahankan wilayahnya (syuu)
- Kelima, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), siap melawan sekutu
Peran PETA dalam Memperjuangkan Negara Indonesia
Perhatian dan minat dari para pemuda Indonesia ternyata sangat besar,
terutama para pemuda yang telah mendapatkan pendidikan di sekolah
menengah dan yang telah bergabung dengan Seinendan. Di dalam PETA
terdapat Lima macam tingkat kepangkatan, yaitu
- Daidanco (komandan batalyon), dipilih dari tokoh-tokoh masyarakat seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamongraja, politikus, dan penegak hukum
- Cudanco (komandan kompi), dipilih dari kalangan yang sudah memiliki pekerjaan namun masih belum mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru dan juru tulis.
- Shodanco (komandan peleton), dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan pertama atau sekolah lanjutan atas.
- Budanco (komandan regu), dipilih dari kalangan pemuda yang pernah bersekolah dasar
- Giyuhei (prajurit sukarela) dari kalangan pemuda yang belum pernah mengenyam pendidikan
Peran tentara PETA selama Perang Kemerdekaan Indonesia sangatlah besar.
Demikian juga peranan mantan Tentara PETA dalam kemerdekaan Indonesia.
Mantan Tentara PETA yang mana diantaranya Soeharto dan Jendral Sudirman
menjadi bagian penting pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI),
mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR),
Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga TNI.
Untuk mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995
diresmikan monumen PETA yang letaknya di Bogor, bekas markas besar PETA.
Dalam perkembangannya, beberapa anggota PETA mulai kecewa terhadap
Balatentara Jepang, hal ini dikarenakan pemerintah Jepang yang semula
memberikan janji masa depan yang cerah bagi rakyat Indonesia, namun pada
kenyataannya justru membuat rakyat Indonesia semakin sengsara. Sehingga
timbullah pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para anggota
PETA.
Pemberontakan-pemberontakan tersebut paling besar terjadi di Blitar Jawa
Timur. Pada tanggal 14 Februari 1945 terjadi perlawanan oleh PETA di
bawah pimpinan Supriyadi (putra Bupati Blitar) dan kawan-kawannya yang
terjadi dalam Daidan Surakmad. Motif utama dalam perlawanan ini adalah
kemarahan dan ketidakpuasan tentara Peta terhadap pemerintah pendudukan
Jepang. Mereka melihat kenyataan dalam kehidupan masyarakat terdapat
adanya penderitaan rakyat di mana-mana, terutama disekitar tempat tugas
mereka. Dalam memimpin perlawanan ini Supriyadi dibantu oleh Dr. Ismail,
Mudari, dan Suwondo.
Pada tanggal 29 Februari 1945 dinihari mulailah Supriyadi dengan
teman-temannya para anggota PETA bergerak. Mereka melepaskan tembakan
mortar, senapan mesin, dan granat dari daidan, lalu bergerak ke luar
dengan senjata lengkap. Setelah pihak Jepang mengetahui tentang gerakan
pemberontakan itu, maka dengan cepat didatangkan pasukan-pasukan Jepang.
Pasukan ini juga dipersenjatai tank, dan pesawat udara. Mereka terus
menduduki Kota Blitar, yang pada waktu itu telah menjadi sunyi-senyap,
karena lalu lintas biasa terhenti dan rakyat bersembunyi atau
menyingkir. Rumah Daidanco dan Cudanco semuanya dijaga oleh Jepang:
Daidan pun telah didudukinya. Daidanco sebenarnya sudah jadi tawanan
Jepang, dan dari Daidanco tawanan ini ke luar perintah –perintah yang
ditunjukkan kepada anggota-anggota yang belum terkumpul kembali,
termasuk Cudanco Suyatmo, untuk melaporkan diri.
Pada perlawanan ini, orang-orang Jepang yang ada di Blitar dibunuh,
perlawanan ini benar-benar mengejutkan bagi Jepang terlebih lagi pada
saat itu Jepang terus-menerus mengalami kekalahan dalam Perang Asia
Timur Raya. Kemudian Jepang mengepung kedudukan Supriyadi dan
kawan-kawannya, namun pasukan Supriyadi tatap melakukan perlawanan dan
menjalankan aksinya, maka terjadilah pertempuran. Tembak-tembakan
senjata berat terjadi antara tentara-tentara Jepang dengan para tentara
PETA, dengan terjadinya keadaan seperti ini membingungkan Jepang dan
membuatnya terjepit.
Menghadapai kegigihan tekad pihak pemberontak tersebut, maka Komandan
pasukan Jepang Kolonel Katagiri menjalankan cara yang lembut untuk
menundukkan Supriyadi beserta kawan-kawannya dari PETA, tapi pada
sesungguhnya cara yang dilakukan oleh pasukan Jepang tersebut merupakan
suatu tipu muslihat dengan menyerukan agar para pemuda-pemuda Blitar
yang mengadakan perlawanan tersebut untuk menyerah saja dan kemudian
akan dijamin keselamatannya serta akan dipenuhi permintaannya oleh
pemerintah Jepang.
Tipuan Jepang tersebut ternyata berhasil dan akibatnya banyak anggota
PETA yang menyerah. Pasukan PETA yang menyerah tersebut tidak luput dari
hukuman Jepang dan beberapa orang diantaranya dijatuhi hukuman mati,
ada pula yang meninggal karena siksaan dari tentara-tentara Jepang.
Adapaun nasib Supriyadi dalam perlawanan itu belum diketahui secara
jelas dan pasti, ada kemungkinan beliau tertangkap dan disiksa sampai
menemui ajalnya. Peristiwa ini sangat dirahasiakan oleh pemerintah
Jepang sehingga tidak tercium oleh pihak luar.
Pemberontakan di Blitar adalah pemberontakan yang paling besar terjadi
di dalam PETA, akan tetapi menurut perkiraan telah terjadi pemberontakan
lainnya yang lebih kecil, yang disembunyikan oleh Jepang. Pemberontakan
tersebut adalah pemberontakan dalam batalyon daerah Cilacap. Di
Gumilir, di luar Kota Cilacap, ditempatkan satu Cudan (kompi) PETA dari
daidan Cilacap yang dipimpin oleh Sutirto. Pemimpin regu (Budanco)
Kusaeri bersama-sama dengan Suwab, Wasirun, Hadi, Mardiyono, Sarjono,
Udi, S. Wiryosukarto, Taswan dan Sujud tampil memelopori pemberontakan
tersebut.
Setelah Kusaeri dengan teman-temannya bersepakat untuk melakukan
perlawanan terhadap Jepang, terlebih dahulu ia mendatangai orang Kyai
yang terkenal di daerah itu guna mendapatkan bantuan batin, yaitu Kyai
Bugel di Lebeng daerah Cilacap, Kyai Juhdi di Rawalo dan Kyai H.
Muhammad Sidik di daerah Banjarnegara. Kusaeri menerima
wejangan-wejangan dan benda-benda yang dipandang mengandung nilai magis.
Dalam pertemuan Kusaeri dengan kawan-kawannya pada tanggal 5 April 1945
di belakang gudang munisi diputuskan bahwa pemberontakan akan dimulai
pada tanggal 21 April 1945 pukul 23.00.
Sesuai dengan rencananya, anggota bagian persenjataan yang bersikap
ragu-ragu lalu disergap dan diikat kedua tangannya sehingga gudang
senjata dapat dibukanya. Sejumlah 215 orang PETA lengkap dengan
persenjataan dan munisinya bergerak ke luar asrama PETA Gumilir menuju
Gunung Srandil yang akan digunakan sebagai basis gerakannya. Panggilan
Daidanco Sutirto agar mereka kembali tidak dihiraukannya. Jepang
berpendapat bahwa pemberontakan itu telah diketahui oleh Daidanco PETA
Kroya, Sudirman. Oleh karenanya, Sudirman diperintahkan untuk berangkat
bersama opsir Jepang guna memadamkan pemberontakan tersebut. Namun,
Daidanco Sudirman bersedia membantu dengan syarat:
a. Kampung-kampung yang dipergunakan sebagi tempat persembunyian Kusaeri dan kawan-kawannya tidak boleh ditembaki.
b. Prajurit-prajurit PETA yang menyerah tidak boleh disiksa.
Kemudian pihak Jepang menerima dan menjamin persyaratan tersebut.
Akhirnya Sudirman menuju ke tempat para pemberontak bersama opsir-opsir
Jepang. Setelah sampai Sudirman melalukan panggilan terhadap Kusaeri
beserta kawan-kawannya. Pemberontakan dapat diselesaikan dengan baik dan
mereka tidak dihadapkan ke siding pengadilan militer Jepang. Sedangkan
tanggung jawab selanjutnya adalah pada daidanco PETA Cilacap. Namun,
pada tanggal 25 April 1945 Kusaeri tertangkap di Desa Adipala dalam
perjalanan menuju Cilacap. Ia diikat dan ditelungkupkan dalam mobil
dengan dua orang Jepang duduk di atas punggungnya. Selama dua minggu di
Cilacap ia terus menerus diperiksa oleh Jepang, kemudian pada tanggal 10
Mei 1945 Kusaeri dengan 18 orang temannya termasuk Kyai Bugel di bawa
ke Jakarta oleh Jepang. Kusaeri divonis hukuma mati, sedangkan lainnya
ada yang dihukum seumur hidup dan hukuman 15 tahun penjara, diantara
mereka ada yang menderita lumpuh di dalam tahanan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendudukan Jepang di Indonesia tidak
dapat diterima, di samping adanya perlawanan-perlawanan tersebut, para
tentara-tentara Jepang juga sempat mengadakan pembunuhan secara
besar-besaran terhadap masyarakat lapisan terpelajar di daerah
Kalimantan Barat. Tidak kurang dari 20.000 orang yang meninggal akibat
dibunuh oleh para tentara Jepang, hanya sebagian kecil saja yang dapat
menyelamatkan diri dan lari ke Pulau Jawa.
Kemungkinan besar, politik pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh
para tentara Jepang tersebut merupakan persiapan kolonisasi orang-orang
Jepang kelak di kemudian hari. Alasan semula, berasal dari kecurigaan
pemerintah Jepang terhadap adanya mata-mata musuh yang tersebar di
wilayah ini, yang kemudian melakukan pembasmian demi keselamatan Jepang.
Meskipun demikian, di wilayah ini telah terjadi suatau tindakan brutal
yang dilakukan oleh para tentara pemerintah pendudukan Jepang yang tidak
mengenal adanya perikemanusiaan.
Pembubaran PETA
Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan blok Sekutu,
Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para daidan batalion PETA untuk
menyerah dan menyerahkan senjata mereka, dimana sebagian besar dari
mereka mematuhinya. Soekarno yang saat itu baru menjabat sebagai
presiden mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah PETA menjadi
tentara nasional, karena tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru
lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang bila ia memperbolehkan milisi
yang diciptakan Jepang ini untuk dilanjutkan. Pada tanggal 19 Agustus
1945, panglima terakhir Tentara Ke-16 di Jawa, Letnan Jendral Nagano
Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan pada para anggota kesatuan PETA (Pembela Tanah Air)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar