Rabu, 14 Agustus 2013

ALAT MUSIK TRADISIONAL INDONESIA DALAM BINGKAI SEJARAH

Oleh Reiza D. Dienaputra
Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang bersifat universal. Dengan demikian, kesenian bisa dipastikan telah lama menjadi kebutuhan manusia, sekaligus bagian dari kehidupan manusia. Kesenian hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Di antara empat kategorisasi seni, yakni, seni musik, seni gerak, seni drama, dan seni rupa, seni musik besar kemungkinan menjadi jenis kesenian barisan pertama yang hadir mewarnai kebudayaan Indonesia. Pada masa-masa awal kelahirannya seni musik memiliki fungsi sangat terbatas yakni sebagai media ekspresi untuk menjalankan sistem kepercayaan.
Dalam perjalanannya kemudian, baik pada masa Hindu-Budha, Islam, penetrasi Barat, Jepang, maupun semasa kemerdekaan, seni musik berkembang sedemikian rupa seiring dengan perkembangan interaksi kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan lain dari berbagai belahan dunia, khususnya kebudayaan-kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia. Fungsi seni musik pun bergerak sedemikian rupa mengikuti irama interaksi kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan asing. Seni musik tidak lagi semata sebagai media ekspresi dalam melaksanakan sistem kepercayaan tetapi juga memiliki fungsi yang meluas, yakni, sebagai media pengungkapan emosional, penghayatan estetis, hiburan, komunikasi, perlambangan, reaksi jasmani, pengajaran akan norma-norma atau peraturan­peraturan, pengesahan lembaga sosial, kesinambungan budaya, hingga fungsi pengintegrasian masyarakat (Merriam, 1964). Sementara sebagaimana seni pada umumnya, seni musik pun dalam perkembangannya kemudian tidak saja sekedar ditujukan untuk mengekepresikan nilai-nilai religiusitas, tetapi juga memiliki maksud, seperti, To Create Beauty, To Provide Decoration, To Reveal Truth, To Immortalize, To Express Fantasy, To Stimulate the Intelect and Fire the Emotions, To Create Order and Harmony, To Expres Chaos, To Record and Commemorate Experience, To Reflect the Social and Cultural Context, To Protest Injustice and Raise Social Consciousness, To Elevate the Commonplace, dan To Meet the Needs of the Artist (Fichner-Rathus, 1995).
Seni musik sebagai representasi unsur kebudayaan universal, sebagaimana unsur-unsur kebudayaan lainnya terepresentasikan dalam tiga wujud kebudayaan, yakni, wujud ide atau gagasan (mentifact), wujud sosial (socifact) dan wujud benda (artefact). Ketiga wujud seni musik tersebut bisa dipastikan melekat pada semua jenis dan ragam musik yang ada di Indonesia, termasuk di dalamnya musik tradisi. Kekayaan etnisitas yang dimiliki Indonesia tentu menjanjikan kekayaaan musik tradisi yang ada di dalamnya. Mulai Sabang hingga Merauke.
Eksistensi Alat Musik Tradisional
Secara sederhana musik tradisi dapat dipahami sebagai musik yang hidup dan berkernbang pada berbagai etnis di Indonesia atau yang hidup dan berkembang pada 1128 suku bangsa (BPS, 2010) di Indonesia. Musik tradisi sering pula dikenal sebagai musik tradisional. Berangkat dari kenyataan tentang besarnya kekayaan bangsa Indonesia akan etnis, maka sekaya itu pulalah musik tradisi yang dimiliki Indonesia. Keberadaan dan perkembangan musik tradisi di berbagai suku bangsa di Indonesia pada dasarnya berbeda antara satu dan Iainnya. Semakin sederhana kehidupan dan tingkat interaksi suatu suku bangsa bisa jadi semakin terbatas pula kekayaan musik tradisi yang dimiliki suku bangsa tersebut. Sebaliknya, semakin modern dan intens tingkat interaksi suatu suku bangsa besar kemungkinan semakin melimpah pula kekayaan musik tradisi yang dimiliki suku bangsa tersebut. Dengan demikian, secara kuantitatif, tingkat kepemilikan musik tradisi setiap suku bangsa berbeda antara satu dengan Iainnya.
Perbedaan tingkat kepemilikan musik tradisi antara satu suku bangsa dengan suku bangsa Iainnya menyebabkan pula terjadinya perbedaan kualitas wujud kebudayaan di antara berbagai musik tradisi yang dimiliki suku-suku bangsa di Indonesia. Perbedaan kualitas musik tradisi ini di antaranya akan tampak karat rn.it.i pada artefact yang melekat pada setiap musik tradisi, khususnya yang berupa alat musik. Semakin sederhana alat musik yang dimiliki musik tradisi maka akan semakin sederhana pula tampilan musik tradisi tersebut. Sebaliknya semakin kompleks dan beragam alat musik yang melekat pada musik tradisi maka akan semakin gempita pula tampilan rnusik tradisi tersebut.
Keberadaan alat musik sebagai artefact musik tradisi tentu memiliki relasi erat dengan perkembangan kebudayaan yang menyertai sang pemilik musik tradisi. Tentu masih sulit untuk dapat memberikan bingkai sejarah yang leiii,kap dan utuh tentang perkembangan alat musik tradisional pada setiap suku bangsa di Indonesia. Namun, bila suku-suku bangsa dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, tak terpungkiri bahwa alat musik tradisional telah dikenal sejak rnasa prasejarah. Keberadaan nekara settagai representasi wujud kebudayaan zaman perunggu menjadi fakta tak terbantahkan tenting telah tuanya tradisi musik bangsa Indonesia. Begitu kuatnya kebudayaan nekara di Indonesia, telah menempatkan Indonesia sebagai pemilik gong nekara terbesar di dunia yakni, gong nekara (the bronzes drum) yang terdapat di Kampung Matalalang, Desa Bontobangun, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan (http://regional.kompas.com, 16 Juni 2013).
Nekara sebagai artefact kebudayaan Indonesia, baik yang berhasil ditemukan di Sulawesi, Sumatera, Jawa, Bali, maupun Nusa Tenggara, sekaligus pula memberi penjelasan sejarah bahwa di antara empat ragam alat musik yang kini dikenal, seperti alat musik perkusi, alat musik petik, alat musik tiup, dan alat musik gesek, maka alat musik yang menjadi kekayaan pertama musik tradisi Indonesia adalah alat musik perkusi. Perjalanan selanjutnya tentang persentuhan bangsa Indonesia dengan ragam alat musik tampak agak sulit untuk dipetakan karena masih kurang Iengkapnya data artefact yang dapat memberikan penjelasan tentang perkembangan persentuhan bangsa Indonesia dengan ragam alat musik Iainya, baik itu alat musik tiup, alat musik petik, maupun alat musik gesek. Namun, dari sumber-sumber sejarah yang tersedia, baik yang berupa sumber benda, sumber tertulis, maupun sumber visual, tampak bahwa persentuhan selanjutnya dengan berbagai ragam alat musik tampaknya berlangsung relatif tidak terlalu berjauhan.
Sebagai contoh, dari relief yang terdapat pada Candi Borobudur, yakni relief Karmawibhangga, Lalitavistara, Awadana-Jataka, dan Gandawyuh, setidaknya tercatat alat­alat musik tradisi yang telah hidup pada masa itu, seperti, suling, simbal, lute, ghanta, cangka (terompet yang terbuat dari siput), saron dan gendang (Kusumastuti, 1981). Hasil kajian lainnya pada relief Candi Borobudur, yang dilakukan Margareth J. Kartomi (Universitas Monash, Australia), menemukan alat musik tradisi lainnya, yakni, gamolan. Gamolan yang ditemukan terbuat dari bambu, kayu, dan dimainkan dua orang. Gamolan dari Lampung berbeda dengan gamelan dari Jawa. Suaranya lebih indah. Gamelan juga merupakan seperangkat alat musik, sedangkan gamolan hanya sebuah alat musik. (http://gamolan.wordpress.com/2011/12/08/instrumental-gamolan-musik-lampung-di‑relief-borobudur, 16 Juni 2013). Sementara itu, yang bersumber dari prasasti, seperti Prasasti Gandasuli II (827 M) dan Prasasti Waharu Kuti (840 M) menyebut alat musik bernama curing (alat musik Jawa Kuno hampir serupa dengan simbal mangkuk); Prasasti Perot (850 M), Prasasti Waharu I (873 M), Prasasti Nanggulan (880 M), dan Prasasti Ramwi (882 M) menyebut alat musik padahi (sejenis gendang); dan Prasasti Lintakan (919 M) disebutkan jenis alat musik yang bernama tuwung, brekuk, dan regang. Tuwung adalah nama Jawa Kuno untuk simbal mangkuk, regang merupakan alat musik serupa simbal berbentuk piring, dan brekuk merupakan alat musik serupa dengan kenong. Brekuk membentuk suatu ansambel, bersama alat musik lain yang dipukul, seperti gambang dan genta yang tergantung pada tangkai panjang (Kusumastuti, 1981).
Dari sumber-sumber tersebut, terlihat bahwa pada dasarnya semua ragam alat musik, pada abad ke-9 atau ke-10 telah Iengkap mewarnai khazanah alat musik tradisional Indonesia. Tidak hanya alat musik perkusi, tetapi juga alat musik petik, tiup dan alat musik gesek.
Dalam perkembangan kontemporer, kekayaan alat musik tradisional pada berbagai suku bangsa di Indonesia tampak begitu Iengkap balk dilihat dari ragam maupun klasifikasi alat musik. Alat musik tradisional pada berbagai etnis yang hingga kini artefact-nya masih dapat dilihat tidak hanya berupa alat musik perkusi tetapi juga berupa alat musik petik, alat musik tiup, dan alat musik gesek. Tidak hanya berupa idiophones, tetapi juga berupa membranophones, chordophones, dan aerophones (Hornbostel dan Sachs, 1961). Tidak hanya waditra tatabeuhan (bedug, bungbung, celengpung, karinding, kohkol, lodang, dan toleot), tetapi juga waditra tiup (suling, bangsing, dan tarompet), waditra gesek (rebab dan tarawangsa), dan waditra petik (kacapi dan jentreng) (Suryani NS, 2007). Kekayaan alat musik tradisional yang kini dimiliki bangsa Indonesia sekaligus pula memperlihatkan tentang kekayaan interaksi kebudayaan Indonesia dengan berbagai kebudayaan asing, termasuk kecerdasan bangsa Indonesia dalam memberikan sentuhan kearifan lokal terhadap berbagai alat musik yang dibawa dan diperkenalkan berbagai kebudayaan asing, balk kebudayaan yang berasal dari Timur maupun kebudayaan yang berasal dari Barat.
Konservasi Alat Musik Tradisional
Betapapun, realitas keberagaman artefact alat musik yang dimiliki berbagai musik tradisi di Indonesia tentu menjadi kekayaan tak terhingga bagi bangsa yang besar ini. Seyogyanya, berbagai alat musik tradisional yang dimiliki oleh berbagai suku bangsa di Indonesia terus dipelihara keberadaannya. Namun, realitas justru seringkali memperlihatkan bahwa kepedulian terhadap berbagai alat musik tradisional tersebut cenderung sangat minim. Untuk tidak mengatakan, tidak ada sama sekali. Jadilah, berbagai alat musik tradisional yang terdapat di berbagai suku bangsa terbengkalai begitu saja dan bahkan nyaris punah tergerus perkembangan zaman. Sementara yang pernah tercatat dalam sejarah atau memori kolektif tetapi tidak menyisakan artefact-nya benar-benar terabaikan.
Dalam kaitan itu semua, perlu upaya sungguh-sungguh dari berbagai pihak untuk menggali dan memelihara keberadaan alat musik tradisional, balk yang berupa mentifact, socifact maupun artefact-nya. Di antara ketiga wujud budaya tersebut, upaya yang relatif paling mudah untuk dilakukan adalah melakukan penggalian dan pelestarian artefact alat-alat musik tradisional. Penggalian artefact alat musik tradisional penting untuk dilakukan tidak saja untuk mengetahui secara utuh alat-alat musik tradisional yang pernah hidup dan berkembang di tengah-tengah berbagai suku bangsa di tanah air tetapi juga untuk mengetahui keterkaitan antar satu alat musik tradisional dengan alat musik tradisional Iainnya, termasuk di dalamnya memaharni perkembangan alat musik tradisional secara diakronik. Begitu beragamnya, suku bangsa yang hidup di Indonesia bisa dipastikan begitu kaya pula alat musik tradisional yang pernah hidup dan berkembang di Indonesia. Di antara alat musik tradisi tersebut, bisa jadi ada yang rnasih hidup dan berkembang hingga saat ini, ada yang masih hidup tapi tidak mengalami perkembangan, ada alat musik tradisional yang sudah mati tapi masih dapat dijejaki lagi, dan ada pula alat musik tradisional yang sudah dianggap mati dan sulit untuk dijejaki kembali. Dalam kondisi itulah, penggalian alat musik tradisional sangat strategis untuk dilakukan.
Alat-alat musik tradisional yang berhasil digali kembali, selanjutnya tentu perlu dipetakan kembali sesuai dengan jiwa zamannya (zeitgeist). Pemetaan kembali alat musik tradisional dalam zamannya tidak saja akan memberi pemahaman utuh tentang keberadaan alat musik tradisional tersebut tetapi juga akan menjadikan alat musik tradisional tersebut tampak hidup kembali sesuai dengan maksud dan fungsi yang dikandungnya.
Penguatan Daya Hidup
Bagian yang tidak kalah penting yang perlu digarap berkaitan dengan alat musik tradisi adalah pengembangan alat musik tradisi. Langkah pengembangan alat musik tradisi tidak saja diperlukan untuk menjadikan musik tradisi tetap dikenal tetapi juga yang tidak kalah penting bagaimana menjadikan musik tradisi mampu beradaptasi dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Dalam kaitan itu, upaya untuk memberikan daya hidup pada alat musik tradisi tidak lantas berhenti ketika alat musik tradisi telah berhasil digali atau ditemukan kembali tetapi bagaimana alat musik tradisi tersebut dapat dikenalkan kembali, dikemas sesuai dengan zamannya, dan dikembangkan fungsinya sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagaimana dikemukakan W.S. Rendra (1991), setidaknya ada tujuh daya hidup yang harus dimiliki oleh sebuah kebudayaan. Pertama, kemampuan bernafas. Kedua, kemampuan mencerna. Ketiga, kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi. Keempat, kemampuan beradaptasi. Kelima, kemampuan mobilitas. Keenam, kemampuan tumbuh dan berkembang. Ketujuh, kemampuan regenerasi.
Daya hidup yang perlu dikembangkan dalam kaitannya dengan alat musik tradisi tentunya tidak lain meliputi ketujuh butir daya hidup sebagaimana dikemukakan Rendra, khususnya kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kememapuan regenerasi. Pengembangan alat musik tradisi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman tidak saja menuntut adanya kesabaran dan ketelatenan tetapi juga menuntut adanya kreativitas dan kapasitas untuk membaca secara cermat kebutuhan zaman yang perlu dimiliki dan dikemaskan pada alat musik tradisi. Kreativitas dan kapasitas semacam ini tentu tidak semua orang memilikinya.
Yang jelas, bila daya hidup alat musik tradisi dapat dilakukan hingga mampu menjadikan alat musik tradisi selaras dengan kebutuhan zaman maka hal ini tidak saja akan menjadikan alat musik tradisi tetap hidup di tengah masyarakat pendukungnya, tetapi lebih dari itu, alat musik tradisi memiliki peluang besar untuk bisa diterima tidak saja oleh pemilik aslinya tetapi juga oleh komunitas lain di luar pemilik asli. Tegasnya, dengan daya hidup yang dimilikinya, ruang bagi alat musik tradisi untuk terus hidup dan berkembang sepanjang zaman, sangat terbuka luas.
Epilog
Alat musik tradisional sebagai representasi unsur kebudayaan yang bersifat universal hadir dan berkembang di Indonesia sesuai dengan perkembangan peradaban yang dimiliki bangsa Indonesia. la telah hadir sejak zaman prasejarah dan mengalami tingkat perkembangan yang berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan tingkat perkembangan kebudayaan pada pemilik dan pendukung alat musik tradisi tersebut, yakni suku-suku bangsa. Semakin intens interaksi suku bangsa dengan suku bangsa atau bangsa lain maka semakin beragam dan semakin gempita pula alat musik tradisi yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin minim interaksi suku bangsa dengan suku bangsa atau bangsa lain maka akan semakin terbatas pula keberagaman perkembangan alat musik tradisi pada suku bangsa tersebut.
Kekayaan alat musik tradisional yang dimiliki bangsa Indonesia tidak berbanding lurus dengan pengetahuan bangsa atau suku bangsa tentang alat musik tradisi yang menjadi kekayaannya. Bahkan, bisa dikatakan betapa sangat minimnya pengetahuan suku bangsa atau bangsa Indonesia tentang alat musik tradisional yang dimilikinya. Kondisi akan semakin memprihatinkan bila alat musik tradisional yang menjadi kekayaan suku bangsa atau bangsa kini sudah tidak menyisakan lagi artefact-nya, ada artefact tetapi mentifact dan socifact-nya tidak bisa dipetakan, atau juga artefact, mentifact, dan socifact-nya masih dapat dipetakan akan tetapi masyarakat pendukungnya nyaris sudah tidak ada.
Realitas tidak paralelnya kekayaan alat musik tradisional dengan pengetahuan tentang alat musik tradisional melahirkan tantangan tentang bagaimana alat musik tradisional bisa digali kembali, balk artefact, socifact maupun mentifact-nya serta bagaimana pula alat musik tradisional tersebut bisa ditempatkan sesuai dengan bingkai sejarahnya, dilestarikan bahkan dikembangkan daya hidupnya sehingga mampu menjawab tantangan dan kebutuhan zaman. Untuk membangun dan membangkitkan kembali pengetahuan serta historical mindedness tentang kekayaan alat musik tradisional yang dimiliki bangsa ini, berbagai upaya dapat dan perlu dilakukan. Satu di antaranya dengan membangun kesadaran sejarah pada para pemangku kepentingan alat musik tradisional, termasuk para pemain, para pelestari dan pengembang alat musik tradisi, dulu, kini, dan untuk yang akan datang.
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Keragaman Alat Musik Nusantara, dengan tema, "Mengurai Beda, Merangkai Sama", yang diselenggarakan Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Provinsi Jawa Barat, Bandung, 19 Juni 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar