Oleh Reiza D. Dienaputra
Kesenian merupakan salah
satu unsur kebudayaan yang bersifat universal. Dengan demikian, kesenian
bisa dipastikan telah lama menjadi kebutuhan manusia, sekaligus bagian
dari kehidupan manusia. Kesenian hidup dan berkembang seiring dengan
perkembangan kehidupan manusia. Di antara empat kategorisasi seni,
yakni, seni musik, seni gerak, seni drama, dan seni rupa, seni musik
besar kemungkinan menjadi jenis kesenian barisan pertama yang hadir
mewarnai kebudayaan Indonesia. Pada masa-masa awal kelahirannya seni
musik memiliki fungsi sangat terbatas yakni sebagai media ekspresi untuk
menjalankan sistem kepercayaan.
Dalam perjalanannya kemudian, baik pada
masa Hindu-Budha, Islam, penetrasi Barat, Jepang, maupun semasa
kemerdekaan, seni musik berkembang sedemikian rupa seiring dengan
perkembangan interaksi kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan lain dari
berbagai belahan dunia, khususnya kebudayaan-kebudayaan asing yang masuk
ke Indonesia. Fungsi seni musik pun bergerak sedemikian rupa mengikuti
irama interaksi kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan asing. Seni musik
tidak lagi semata sebagai media ekspresi dalam melaksanakan sistem
kepercayaan tetapi juga memiliki fungsi yang meluas, yakni, sebagai
media pengungkapan emosional, penghayatan estetis, hiburan, komunikasi,
perlambangan, reaksi jasmani, pengajaran akan norma-norma atau
peraturanperaturan, pengesahan lembaga sosial, kesinambungan budaya,
hingga fungsi pengintegrasian masyarakat (Merriam, 1964). Sementara
sebagaimana seni pada umumnya, seni musik pun dalam perkembangannya
kemudian tidak saja sekedar ditujukan untuk mengekepresikan nilai-nilai
religiusitas, tetapi juga memiliki maksud, seperti, To Create
Beauty, To Provide Decoration, To Reveal Truth, To Immortalize, To
Express Fantasy, To Stimulate the Intelect and Fire the Emotions, To
Create Order and Harmony, To Expres Chaos, To Record and Commemorate
Experience, To Reflect the Social and Cultural Context, To Protest
Injustice and Raise Social Consciousness, To Elevate the Commonplace,
dan To Meet the Needs of the Artist (Fichner-Rathus, 1995).
Seni musik sebagai representasi unsur kebudayaan universal,
sebagaimana unsur-unsur kebudayaan lainnya terepresentasikan dalam tiga
wujud kebudayaan, yakni, wujud ide atau gagasan (mentifact), wujud sosial (socifact) dan wujud benda (artefact). Ketiga
wujud seni musik tersebut bisa dipastikan melekat pada semua jenis dan
ragam musik yang ada di Indonesia, termasuk di dalamnya musik tradisi.
Kekayaan etnisitas yang dimiliki Indonesia tentu menjanjikan kekayaaan
musik tradisi yang ada di dalamnya. Mulai Sabang hingga Merauke.
Eksistensi Alat Musik Tradisional
Secara sederhana musik tradisi dapat dipahami sebagai musik yang hidup dan berkernbang pada berbagai etnis di Indonesia atau yang hidup dan berkembang pada 1128 suku bangsa (BPS, 2010) di Indonesia. Musik tradisi sering pula dikenal sebagai musik tradisional. Berangkat dari kenyataan tentang besarnya kekayaan bangsa Indonesia akan etnis, maka sekaya itu pulalah musik tradisi yang dimiliki Indonesia. Keberadaan dan perkembangan musik tradisi di berbagai suku bangsa di Indonesia pada dasarnya berbeda antara satu dan Iainnya. Semakin sederhana kehidupan dan tingkat interaksi suatu suku bangsa bisa jadi semakin terbatas pula kekayaan musik tradisi yang dimiliki suku bangsa tersebut. Sebaliknya, semakin modern dan intens tingkat interaksi suatu suku bangsa besar kemungkinan semakin melimpah pula kekayaan musik tradisi yang dimiliki suku bangsa tersebut. Dengan demikian, secara kuantitatif, tingkat kepemilikan musik tradisi setiap suku bangsa berbeda antara satu dengan Iainnya.
Perbedaan tingkat kepemilikan musik tradisi antara satu suku bangsa dengan suku bangsa Iainnya menyebabkan pula terjadinya perbedaan kualitas wujud kebudayaan di antara berbagai musik tradisi yang dimiliki suku-suku bangsa di Indonesia. Perbedaan kualitas musik tradisi ini di antaranya akan tampak karat rn.it.i pada artefact yang melekat pada setiap musik tradisi, khususnya yang berupa alat musik. Semakin sederhana alat musik yang dimiliki musik tradisi maka akan semakin sederhana pula tampilan musik tradisi tersebut. Sebaliknya semakin kompleks dan beragam alat musik yang melekat pada musik tradisi maka akan semakin gempita pula tampilan rnusik tradisi tersebut.
Eksistensi Alat Musik Tradisional
Secara sederhana musik tradisi dapat dipahami sebagai musik yang hidup dan berkernbang pada berbagai etnis di Indonesia atau yang hidup dan berkembang pada 1128 suku bangsa (BPS, 2010) di Indonesia. Musik tradisi sering pula dikenal sebagai musik tradisional. Berangkat dari kenyataan tentang besarnya kekayaan bangsa Indonesia akan etnis, maka sekaya itu pulalah musik tradisi yang dimiliki Indonesia. Keberadaan dan perkembangan musik tradisi di berbagai suku bangsa di Indonesia pada dasarnya berbeda antara satu dan Iainnya. Semakin sederhana kehidupan dan tingkat interaksi suatu suku bangsa bisa jadi semakin terbatas pula kekayaan musik tradisi yang dimiliki suku bangsa tersebut. Sebaliknya, semakin modern dan intens tingkat interaksi suatu suku bangsa besar kemungkinan semakin melimpah pula kekayaan musik tradisi yang dimiliki suku bangsa tersebut. Dengan demikian, secara kuantitatif, tingkat kepemilikan musik tradisi setiap suku bangsa berbeda antara satu dengan Iainnya.
Perbedaan tingkat kepemilikan musik tradisi antara satu suku bangsa dengan suku bangsa Iainnya menyebabkan pula terjadinya perbedaan kualitas wujud kebudayaan di antara berbagai musik tradisi yang dimiliki suku-suku bangsa di Indonesia. Perbedaan kualitas musik tradisi ini di antaranya akan tampak karat rn.it.i pada artefact yang melekat pada setiap musik tradisi, khususnya yang berupa alat musik. Semakin sederhana alat musik yang dimiliki musik tradisi maka akan semakin sederhana pula tampilan musik tradisi tersebut. Sebaliknya semakin kompleks dan beragam alat musik yang melekat pada musik tradisi maka akan semakin gempita pula tampilan rnusik tradisi tersebut.
Keberadaan alat musik sebagai artefact musik
tradisi tentu memiliki relasi erat dengan perkembangan kebudayaan yang
menyertai sang pemilik musik tradisi. Tentu masih sulit untuk dapat
memberikan bingkai sejarah yang leiii,kap dan utuh tentang perkembangan
alat musik tradisional pada setiap suku bangsa di Indonesia. Namun, bila
suku-suku bangsa dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, tak
terpungkiri bahwa alat musik tradisional telah dikenal sejak rnasa
prasejarah. Keberadaan nekara settagai representasi wujud kebudayaan
zaman perunggu menjadi fakta tak terbantahkan tenting telah tuanya
tradisi musik bangsa Indonesia. Begitu kuatnya kebudayaan nekara di
Indonesia, telah menempatkan Indonesia sebagai pemilik gong nekara
terbesar di dunia yakni, gong nekara (the bronzes drum) yang terdapat di Kampung Matalalang, Desa Bontobangun, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan (http://regional.kompas.com, 16 Juni 2013).
Nekara sebagai artefact kebudayaan Indonesia,
baik yang berhasil ditemukan di Sulawesi, Sumatera, Jawa, Bali, maupun
Nusa Tenggara, sekaligus pula memberi penjelasan sejarah bahwa di antara
empat ragam alat musik yang kini dikenal, seperti alat musik perkusi,
alat musik petik, alat musik tiup, dan alat musik gesek, maka alat musik
yang menjadi kekayaan pertama musik tradisi Indonesia adalah alat musik
perkusi. Perjalanan selanjutnya tentang persentuhan bangsa Indonesia
dengan ragam alat musik tampak agak sulit untuk dipetakan karena masih
kurang Iengkapnya data artefact yang dapat memberikan
penjelasan tentang perkembangan persentuhan bangsa Indonesia dengan
ragam alat musik Iainya, baik itu alat musik tiup, alat musik petik,
maupun alat musik gesek. Namun, dari sumber-sumber sejarah yang
tersedia, baik yang berupa sumber benda, sumber tertulis, maupun sumber
visual, tampak bahwa persentuhan selanjutnya dengan berbagai ragam alat
musik tampaknya berlangsung relatif tidak terlalu berjauhan.
Sebagai contoh, dari relief yang terdapat pada Candi
Borobudur, yakni relief Karmawibhangga, Lalitavistara, Awadana-Jataka,
dan Gandawyuh, setidaknya tercatat alatalat musik tradisi yang telah
hidup pada masa itu, seperti, suling, simbal, lute, ghanta, cangka
(terompet yang terbuat dari siput), saron dan gendang (Kusumastuti,
1981). Hasil kajian lainnya pada relief Candi Borobudur, yang dilakukan
Margareth J. Kartomi (Universitas Monash, Australia), menemukan alat
musik tradisi lainnya, yakni, gamolan. Gamolan yang ditemukan terbuat dari bambu, kayu, dan dimainkan dua orang. Gamolan dari Lampung berbeda dengan gamelan dari Jawa. Suaranya lebih indah. Gamelan juga merupakan seperangkat alat musik, sedangkan gamolan hanya sebuah alat musik. (http://gamolan.wordpress.com/2011/12/08/instrumental-gamolan-musik-lampung-di‑relief-borobudur,
16 Juni 2013). Sementara itu, yang bersumber dari prasasti, seperti
Prasasti Gandasuli II (827 M) dan Prasasti Waharu Kuti (840 M) menyebut
alat musik bernama curing (alat musik Jawa Kuno hampir serupa
dengan simbal mangkuk); Prasasti Perot (850 M), Prasasti Waharu I (873
M), Prasasti Nanggulan (880 M), dan Prasasti Ramwi (882 M) menyebut alat
musik padahi (sejenis gendang); dan Prasasti Lintakan (919 M) disebutkan jenis alat musik yang bernama tuwung, brekuk, dan regang. Tuwung adalah nama Jawa Kuno untuk simbal mangkuk, regang merupakan alat musik serupa simbal berbentuk piring, dan brekuk merupakan alat musik serupa dengan kenong. Brekuk membentuk
suatu ansambel, bersama alat musik lain yang dipukul, seperti gambang
dan genta yang tergantung pada tangkai panjang (Kusumastuti, 1981).
Dari sumber-sumber tersebut, terlihat bahwa pada dasarnya semua ragam
alat musik, pada abad ke-9 atau ke-10 telah Iengkap mewarnai khazanah
alat musik tradisional Indonesia. Tidak hanya alat musik perkusi, tetapi
juga alat musik petik, tiup dan alat musik gesek.
Dalam perkembangan kontemporer, kekayaan alat musik
tradisional pada berbagai suku bangsa di Indonesia tampak begitu Iengkap
balk dilihat dari ragam maupun klasifikasi alat musik. Alat musik
tradisional pada berbagai etnis yang hingga kini artefact-nya masih
dapat dilihat tidak hanya berupa alat musik perkusi tetapi juga berupa
alat musik petik, alat musik tiup, dan alat musik gesek. Tidak hanya
berupa idiophones, tetapi juga berupa membranophones, chordophones, dan aerophones (Hornbostel dan Sachs, 1961). Tidak hanya waditra tatabeuhan (bedug, bungbung, celengpung, karinding, kohkol, lodang, dan toleot), tetapi juga waditra tiup (suling, bangsing, dan tarompet), waditra gesek (rebab dan tarawangsa), dan waditra petik (kacapi dan jentreng) (Suryani
NS, 2007). Kekayaan alat musik tradisional yang kini dimiliki bangsa
Indonesia sekaligus pula memperlihatkan tentang kekayaan interaksi
kebudayaan Indonesia dengan berbagai kebudayaan asing, termasuk
kecerdasan bangsa Indonesia dalam memberikan sentuhan kearifan lokal
terhadap berbagai alat musik yang dibawa dan diperkenalkan berbagai
kebudayaan asing, balk kebudayaan yang berasal dari Timur maupun
kebudayaan yang berasal dari Barat.
Konservasi Alat Musik Tradisional
Betapapun, realitas keberagaman artefact alat
musik yang dimiliki berbagai musik tradisi di Indonesia tentu menjadi
kekayaan tak terhingga bagi bangsa yang besar ini. Seyogyanya, berbagai
alat musik tradisional yang dimiliki oleh berbagai suku bangsa di
Indonesia terus dipelihara keberadaannya. Namun, realitas justru
seringkali memperlihatkan bahwa kepedulian terhadap berbagai alat musik
tradisional tersebut cenderung sangat minim. Untuk tidak mengatakan,
tidak ada sama sekali. Jadilah, berbagai alat musik tradisional yang
terdapat di berbagai suku bangsa terbengkalai begitu saja dan bahkan
nyaris punah tergerus perkembangan zaman. Sementara yang pernah tercatat
dalam sejarah atau memori kolektif tetapi tidak menyisakan artefact-nya benar-benar terabaikan.
Dalam kaitan itu semua, perlu upaya sungguh-sungguh
dari berbagai pihak untuk menggali dan memelihara keberadaan alat musik
tradisional, balk yang berupa mentifact, socifact maupun artefact-nya. Di
antara ketiga wujud budaya tersebut, upaya yang relatif paling mudah
untuk dilakukan adalah melakukan penggalian dan pelestarian artefact alat-alat musik tradisional. Penggalian artefact alat
musik tradisional penting untuk dilakukan tidak saja untuk mengetahui
secara utuh alat-alat musik tradisional yang pernah hidup dan berkembang
di tengah-tengah berbagai suku bangsa di tanah air tetapi juga untuk
mengetahui keterkaitan antar satu alat musik tradisional dengan alat
musik tradisional Iainnya, termasuk di dalamnya memaharni perkembangan
alat musik tradisional secara diakronik. Begitu beragamnya, suku bangsa
yang hidup di Indonesia bisa dipastikan begitu kaya pula alat musik
tradisional yang pernah hidup dan berkembang di Indonesia. Di antara
alat musik tradisi tersebut, bisa jadi ada yang rnasih hidup dan
berkembang hingga saat ini, ada yang masih hidup tapi tidak mengalami
perkembangan, ada alat musik tradisional yang sudah mati tapi masih
dapat dijejaki lagi, dan ada pula alat musik tradisional yang sudah
dianggap mati dan sulit untuk dijejaki kembali. Dalam kondisi itulah,
penggalian alat musik tradisional sangat strategis untuk dilakukan.
Alat-alat musik tradisional yang berhasil digali kembali, selanjutnya tentu perlu dipetakan kembali sesuai dengan jiwa zamannya (zeitgeist). Pemetaan
kembali alat musik tradisional dalam zamannya tidak saja akan memberi
pemahaman utuh tentang keberadaan alat musik tradisional tersebut tetapi
juga akan menjadikan alat musik tradisional tersebut tampak hidup
kembali sesuai dengan maksud dan fungsi yang dikandungnya.
Penguatan Daya Hidup
Bagian yang tidak kalah penting yang perlu digarap
berkaitan dengan alat musik tradisi adalah pengembangan alat musik
tradisi. Langkah pengembangan alat musik tradisi tidak saja diperlukan
untuk menjadikan musik tradisi tetap dikenal tetapi juga yang tidak
kalah penting bagaimana menjadikan musik tradisi mampu beradaptasi
dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Dalam kaitan itu, upaya untuk
memberikan daya hidup pada alat musik tradisi tidak lantas berhenti
ketika alat musik tradisi telah berhasil digali atau ditemukan kembali
tetapi bagaimana alat musik tradisi tersebut dapat dikenalkan kembali,
dikemas sesuai dengan zamannya, dan dikembangkan fungsinya sesuai dengan
perkembangan zaman. Sebagaimana dikemukakan W.S. Rendra (1991),
setidaknya ada tujuh daya hidup yang harus dimiliki oleh sebuah
kebudayaan. Pertama, kemampuan bernafas. Kedua, kemampuan mencerna.
Ketiga, kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi. Keempat, kemampuan
beradaptasi. Kelima, kemampuan mobilitas. Keenam, kemampuan tumbuh dan
berkembang. Ketujuh, kemampuan regenerasi.
Daya hidup yang perlu dikembangkan dalam kaitannya
dengan alat musik tradisi tentunya tidak lain meliputi ketujuh butir
daya hidup sebagaimana dikemukakan Rendra, khususnya kemampuan
beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta
kememapuan regenerasi. Pengembangan alat musik tradisi sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman tidak saja menuntut adanya kesabaran
dan ketelatenan tetapi juga menuntut adanya kreativitas dan kapasitas
untuk membaca secara cermat kebutuhan zaman yang perlu dimiliki dan
dikemaskan pada alat musik tradisi. Kreativitas dan kapasitas semacam
ini tentu tidak semua orang memilikinya.
Yang jelas, bila daya hidup alat musik tradisi dapat
dilakukan hingga mampu menjadikan alat musik tradisi selaras dengan
kebutuhan zaman maka hal ini tidak saja akan menjadikan alat musik
tradisi tetap hidup di tengah masyarakat pendukungnya, tetapi lebih dari
itu, alat musik tradisi memiliki peluang besar untuk bisa diterima
tidak saja oleh pemilik aslinya tetapi juga oleh komunitas lain di luar
pemilik asli. Tegasnya, dengan daya hidup yang dimilikinya, ruang bagi
alat musik tradisi untuk terus hidup dan berkembang sepanjang zaman,
sangat terbuka luas.
Epilog
Alat musik tradisional sebagai representasi unsur
kebudayaan yang bersifat universal hadir dan berkembang di Indonesia
sesuai dengan perkembangan peradaban yang dimiliki bangsa Indonesia. la
telah hadir sejak zaman prasejarah dan mengalami tingkat perkembangan
yang berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan tingkat
perkembangan kebudayaan pada pemilik dan pendukung alat musik tradisi
tersebut, yakni suku-suku bangsa. Semakin intens interaksi suku bangsa
dengan suku bangsa atau bangsa lain maka semakin beragam dan semakin
gempita pula alat musik tradisi yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin
minim interaksi suku bangsa dengan suku bangsa atau bangsa lain maka
akan semakin terbatas pula keberagaman perkembangan alat musik tradisi
pada suku bangsa tersebut.
Kekayaan alat musik tradisional yang dimiliki bangsa
Indonesia tidak berbanding lurus dengan pengetahuan bangsa atau suku
bangsa tentang alat musik tradisi yang menjadi kekayaannya. Bahkan, bisa
dikatakan betapa sangat minimnya pengetahuan suku bangsa atau bangsa
Indonesia tentang alat musik tradisional yang dimilikinya. Kondisi akan
semakin memprihatinkan bila alat musik tradisional yang menjadi kekayaan
suku bangsa atau bangsa kini sudah tidak menyisakan lagi artefact-nya, ada artefact tetapi mentifact dan socifact-nya tidak bisa dipetakan, atau juga artefact, mentifact, dan socifact-nya masih dapat dipetakan akan tetapi masyarakat pendukungnya nyaris sudah tidak ada.
Realitas tidak paralelnya kekayaan alat musik
tradisional dengan pengetahuan tentang alat musik tradisional melahirkan
tantangan tentang bagaimana alat musik tradisional bisa digali kembali,
balk artefact, socifact maupun mentifact-nya serta
bagaimana pula alat musik tradisional tersebut bisa ditempatkan sesuai
dengan bingkai sejarahnya, dilestarikan bahkan dikembangkan daya
hidupnya sehingga mampu menjawab tantangan dan kebutuhan zaman. Untuk
membangun dan membangkitkan kembali pengetahuan serta historical mindedness tentang
kekayaan alat musik tradisional yang dimiliki bangsa ini, berbagai
upaya dapat dan perlu dilakukan. Satu di antaranya dengan membangun
kesadaran sejarah pada para pemangku kepentingan alat musik tradisional,
termasuk para pemain, para pelestari dan pengembang alat musik tradisi,
dulu, kini, dan untuk yang akan datang.
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Keragaman
Alat Musik Nusantara, dengan tema, "Mengurai Beda, Merangkai Sama", yang
diselenggarakan Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga, Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan, Provinsi Jawa Barat, Bandung, 19 Juni 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar